CATATAN TUN AKHYAR, PEMRED TORIAU.CO

Pesta Demokrasi: Saat 'Kue' Media 'Dikangkangi'

Tun Akhyar, Pemred toRiau.co
Hari Selasa (20/2/2018) ini merupakan hari ke-5 pelaksanaan kampanye Pilkada Provinsi Riau. Sesuai jadwal dan tahapan yang ditetapkan KPU Riau, masa-masa awal kampanye ini lebih didominasi kampanye dialogis. Yakni, kampanye yang dilaksanakan dalam bentuk pemaparan visi dan misi para pasangan calon (paslon) dan tanya jawab dengan para konstituennya.

Itu yang dilakukan keempat pasangan calon di Pilgubri sejak tanggal 15 Februari lalu, masing-masing, sesuai nomor urut, paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau Syamsuar-Edy Nastion (1), Lukman Edy-Hardianto (2), Firdaus-Rusli Effendi (3) dan Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno (4).

Berdasarkan rute perjalanan keempat paslon tersebut, hampir keseluruhan paslon terlihat masih melakukan kampanye dialogis di luar basis mereka masing-masing. Seperti paslon nomor 3, Firdaus-Rusli dalam beberapa hari terakhir terlihat berkeliling ke kawasan Pesisir Riau, yakni Meranti dan Kabupaten Siak.

Kawasan Pesisir Riau itu disebut-sebut sebagai basisnya pasangan nomor urut 1, yakni Syamsuar dan Edy Nasution, karena Syamsuar merupakan Bupati Siak nonaktif.

Sebaliknya, di saat bersamaan, Syamsuar-Edy Nasution melakukan hal serupa ke basis pasangan nomor urut 3, yakni Firdaus-Rusli Efendi, yakni ke Kabupaten Kampar.

Begitu juga dengan pasangan nomor urut 2 Lukman Edy-Hardianto dengan paslon nomor urut 4 Andi Rachman-Suyatno, juga saling masuk ke basis suara masing-masing.

Barangkali karena model kampanyenya adalah dialogis bukan kampanye terbuka atau kampanye akbar, saya mengamati belumlah terlihat kesemarakan seperti kampanye-kampanye Pikada masa lalu. Terutama sekali dalam bentuk 'kehebohan' pemberitaan di media massa. Semua berjalan normal dan nyaris tidak terasa bahwa saat ini adalah musim kampanye.

Dalam pelaksanaannya, pengerahan massa pendukung oleh masing-masing paslon juga sangat minim. Saya memperkirakan jumlah massa atau konsitituen yang hadir saat para paslon berkampanye rata-rata hanya ratusan orang. Tidak mencapai ribuan, apalagi ratusan ribu, seperti masa-masa pesta demokrasi sebelum-sebelumnya.

Suka atau tidak suka, aturan kampanye yang ketat yang ditetapkan pelaksana Pilkada, KPU, juga terlihat mempengaruhi suasana pesta demokrasi ini. Dulu di sepanjang jalan hingga ke komplek-komplek perumahan, baik umbul-umbul, baliho, spanduk dan stiker, terlihat meriah mewarnai setiap kota, kecamatan hingga ke desa-desa.

Sekarang sesuai aturannya, mulai dari alat peraga kampanye (APK) baik ukuran maupun kuotanya  serta lokasi pemasangannya, langsung diatur KPU. Begitu juga dalam hal pemuatan iklan promo paslon di media massa, semua diatur dan ditetapkan KPU, termasuk ke media mana saja yang boleh dipasang.

Di satu sisi, aturan itu ada bagusnya. Sebab, ini akan mengurangi jurang pemisah antara paslon yang memiliki modal kuat dengan yang ambil bagian bermodalkan ala kadarnya. Jika tidak ada aturan pembatasan yang ditetapkan KPU, bisa saja di seluruh pelosok jalan dan kota, hanya akan didominasi oleh paslon yang kuat modal saja.

Apalagi dengan dibolehkannya para kepala daerah untuk ambil bagian di Pilkada tanpa syarat harus mundur dari jabatannya, kecuali nonaktif hingga berakhirnya kampanye, maka bila tidak ada pembatasan dan regulasi yang jelas, bisa saja di kota tempat kepala daerah itu berkuasa, takkan ada APK paslon lainnya.

Tapi di sisi lain, aturan pembatasan itu sebenarnya juga sangat merugikan banyak pihak yang tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Ekonomi masyarakat tidak ikut menggeliat, karena orderan untuk bisnis advertising mulai dari spanduk, baliho, kaos dan stiker jadi merosot drastis.

Pembatasan jumlah kampanye akbar yang biasanya menjadi lahan pendapatan bagi pedagang dan masyarakat kecil, juga jadi berkurang. Konsentrasi massa tidak banyak dan tentunya juga tidak banyak yang berbelanja untuk segelas "air sejuk"  di gerobak-gerobak jualan masyarakat kecil yang biasanya memenuhi lokasi kampanye terbuka.

Imbas dari ketatnya aturan Pilkada dan kampanye juga sangat dirasakan media massa, baik cetak, elektronik dan online termasuk di Provinsi Riau. Perusahaan yang bergerak di bisnis jasa informasi kehilangan pendapatan sekali lima tahun dari pemasangan "informasi berbayar" baik dalam bentuk advetorial, galeri foto, iklan promo paslon dalam bentuk banner maupun lain-lainnya.

Memang sama sekali pemuatannya tidak dilarang. Tapi ada aturan yang menetapkan hanya media-media tertentu saja yang dibolehkan oleh pelaksana Pilkada, yakni KPU. Dan media-medianya, semua ditetapkan oleh KPU.

Soal aturan pemuatan iklan kampanye di media massa itu sudah termuat dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada. Semuanya terangkum dalam "24 Larangan Dalam Kampanye Pilkada 2018."

Salah satu poinnya menyebutkan, "Media massa cetak, media massa elektronik (televisi, radio, dan/atau media online), dan lembaga penyiaran dilarang menayangkan Iklan Kampanye komersial selain yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/KIP Aceh dan/atau KPU/KIP Kabupaten/Kota".

Lalu, yang lainnya, "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang memasang Iklan Kampanye di media massa cetak dan media massa elektronik di luar ketentuan."

Sedangkan aturan lainnya yang juga ikut merugikan bisnis advertising terangkum dalam peraturan KPU yang berbunyi, "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang mencetak dan memasang Alat Peraga Kampanye selain pada tempat dan jumlah yang telah ditentukan".

Dengan banyaknya "aturan melarang" itu, memang, media massa jadi sulit untuk ikut "berpesta" dalam masa pesta demokrasi ini. Hanya segelintir media tertentu saja yang dapat menikmati "kue" pesta demokrasi ini. Selebihnya, jadi penonton dan cuma bisa "menelan air liur" melihat rekan-rekan di perusahaan media tertentu berpesta iklan dan pendapatan.

Jadi, sangat wajar bila sebagian besar media massa saat ini terkesan "cuek" dan tak peduli dengan pelaksanaan pesta demokrasi. Kata teman-teman saya, "untuk apa kita berheboh-heboh mempublikasi kegiatan Pilkada, kalau cuma hanya capek menulisnya saja. Toh, perusahaan media kita tdak dapat apa-apa."

Jika pemberitaan di media sepi, jika pelaksanaan Pilkada tidak terasa denyutnya seperti masa lalu, ya begitulah! * tun akhyar
TERKAIT